ĂźDengan adanya pemerintahan yang tidak transparan tentu memunculkan dampak atau akibat yang tidak baik. Di antara dampak atau akibat penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan, dampak yang paling besar adalah korupsi. Istilah "korupsi" dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.

ARTIKEL HUKUM Merosotnya Wibawa Hukum akibat Pemerintah Terbiasa dan Terkenal Tidak Akuntabel saat Merumuskan Norma Hukum Dalam kesempatan sebelumnya, penulis mengurai betapa peraturan atau norma hukum negara wajib dibentuk secara demokratis, namun penegakkannya wajib pula diberlakukan secara k0munistik, tegas serta keras tanpa kenal kompromi terlebih membuka ruang “tawar-menawar negosiasi”. Ketika pemerintahan suatu negara telah memberlakukan asas ataupun prinsip-prinsip demokratis dalam perumusan, penyusunan, hingga pembahasan suatu kaedah hukum yang berlaku dan mengikat bagi umum, maka pemerintah dapat secara penuh percaya diri menegakkannya setegak-tegaknya dimana publik pun pastinya akan turut mendukung lewat sikap taat serta patuh disamping memberikan dukungan moril. Namun suatu momen tatkala pemerintah bersikap “separuh hati” terkesan “gamang”, sekadar “panik” namun tanpa mengetahui apa yang semestinya dan tindakan apa perlu untuk ambil untuk dijalankan ketika menerapkan kebijakan “lock down” tatkala situasi internal negeri telah menjelma keadaan darurat wabah pandemik virus mematikan bernama varian terbaru Corona Virus Disease strain COVID-19, mengapa justru terkesan tidak bisa percaya diri menegakkan kebijakan negara secara k0munistik tegas serta keras, sekalipun keadaan bangsa membutuhkan ketegasan pemerintah selaku otoritas negara tanpa lagi “berlama-lama” dalam “kegamangan” penguasa negeri? Pemerintah justru hanya sejauh membuat kebijakan bernama “himbauan” menjaga jarak sera “pembatasan sosial berskala besar” yang sama sekali tidak efektif menindak sebagian penduduk yang dengan sengaja melanggar, tidak patuh, serta tidak taat. Ada apakah gerangan dengan pemegang kekuasaan di republik ini, tidak tegas dengan mempertaruhkan banyak nyawa penduduk yang kian hari kian riskan turut terpapar, kian bertumbangan satu per satu, dan kian terpuruknya kehidupan ekonomi warga? Dimanakah para produsen serta pabrikan produk tembakau, setelah sekian lama mengeruk kekayaan ekonomi rakyat dan merusak fondasi kesehatan rakyat dengan menjadikan racun bernama produk bakaran tembakau menjadi “kebutuhan pokok” rakyat baca perbudakan yang juga kebetulan disukai Virus Corona untuk bersarang, tiba-tiba seolah raib dari dunia ini batang hidup pemilik usaha pabrikan bersangkutan. Oroiras negara, yang selama ini juga merasa perlu memelihara produsen produk bakaran tembakau, dengan alasan adanya pemasukan dari cukai produk tembakau yang tidak seberapa nilainya ketimbang “health cost” yang harus ditanggung pemerintah dan hilangnya produktivitas warga yang terjangkit berbagai penyakit sehingga hanya menjadi beban bagi anggota keluarga lainnya, sekalipun anggaran Jaminan Kesehatan Nasional terus mencetak defisit akibat rusaknya fondasi kesehatan rakyat berkat produk bakaran tembakau, kini turut “dihajar” secara telak oleh wabah pandemik virus mematikan yang disebut-sebut sangat menyukai penghisap produk bakaran tembakau yang notabene kondisi paru-parunya telah penuh lubang menganga tempat virus mudah berkembang-biak. Mengapa pemerintah justru bersikap “separuh hati” menegakkan hukum yang sejatinya paling dan sedang dibutuhkan ketegasannya secara efektif mengatur warga “pembangkang”, bahkan hanya sekadar mampu sejauh membuat “himbauan” yang bukanlah ciri suatu norma hukum? Himbauan adalah tugas dokter dan pemuka agama maupun pengamat masyarakat, bukan produk politik-hukum. Kembali lagi pada pertanyaan semula, mengapa pemerintah “tidak percaya diri” membuat serta menerapkan aturan hukum yang lebih tegas dan keras saat negara dilanda kondisi DARURAT seperti “perang” melawan pandemik virus mematikan? Setelah melakukan perenungan sejenak, maka penulis mendapat satu penjelasan sosiologis yang sangat masuk akal. Baru-baru ini saja, revisi terhadap Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disahkan antara Pemerintah dan Parlemen Republik Indonesia, dimana prosesnya seolah meninggalkan rakyat selaku stakeholder yang turut berkepentingan, disusun serta disahkan secara sembunyi-sembunyi tidak transparan, tidak akuntabel, serta seolah menjaga jarak dari publik agar kepentingan segelintir elit-elit politik tidak di-intervensi oleh pengamat kebijakan publik maupun oleh para kritikus yang dinilai “meng-gerah-kan” pemerintah. Kita masih ingat betul, kekecewaan sebagian besar rakyat kita terhadap pencalonan petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi, kemarahan rakyat kita terhadap revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga tuntutan rakyat agar Presiden membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi namun tidak digubris, berbuntut pada aksi demonstrasi mahasiswa yang direpresi oleh pemimpin negara ini lewat aparatur penegak hukumnya. Rakyat, sejak saat itu, telah hilang segala kepercayaan untuk dapat kembali diberikan kepada otoritas negaranya, karena dianggap memiliki agenda politik yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Singkatnya, pemerintah patut “diragukan” maksud serta itikadnya. Ketika otoritas negara lewat aparatur penegak hukumnya, begitu agresif menekan dan merepresif penyebaran dan pergerakan massa mahasiswa yang melakukan aksi-aksi demonstrasi, mengapa kemudian saat mengadapi “perang” melawan virus mematikan yang telah menjadi wabah yang jauh lebih berbahaya daripada mahasiswa yang tidak bersenjata, dan bahkan mungkin saja dapat benar-benar membuat punah umat manusia lewat serangan wabah pandemik “gelombang kedua”, “gelombang ketiga”, dan seterusnya karena terbukti mantan penderita tidak otomatis memiliki kekebalan terhadap infeksi virus yang sama, pemerintah kita seolah “mendadak alim” dan “kalem” menghadapi situasi, bahkan hanya mampu sekadar “menghimbau” tanpa menindak ataupun membuat agar seluruh warga patuh dan taat terhadap “himbauan”—sekadar “himbauan”, namun warga dituntut untuk mematuhi, pimpinan negeri ini mengharap terlampau banyak, rupanya. Terhadap yang “mewajibkan” saja, rakyat kita kerap membantah dan mem-“bandel”, terlebih yang hanya sekadar bertajuk “himbauan”? Apakah pemerintah kita sedang bermain-main dan ber-lelucon dengan rakyatnya pada saat yang tidak tepat ini? Tampaknya sikap tidak kooperatif warga kita terhadap “himbauan” pemerintah untuk melakukan “social and physical distancing”, bahkan sebagian diantara membangkang dan seolah menantang untuk dilanggar, adalah wujud “komunikasi politik” oleh rakyat kita yang sedang hendak melakukan aksi pembalasan retributif lewat sebentuk “olok-olok” terhadap “himbauan” milik pemerintah. Itulah, buah karma buruk yang harus dibayar mahal oleh pemerintah kita, dengan reputasi penanganan oleh pemerintah kita yang turut diawasi oleh dunia global, dengan kian tidak terbendungnya penyebaran wabah pandemik Virus Corona, dan disaat bersamaan defisit anggaran yang dikelola negara kian membengkak. Kini, para penguasa di negeri ini akan membayarnya secara lebih mahal lagi bila tidak segera belajar dari pengalaman “pahit” yang terjadi ini. Karena selama ini pemerintahan kita tidak pernah benar-benar demokratis saat membuat aturan hukum, mengakibatkan masyarakat kita tidak memberikan apresiasi penghargaan maupun dukungan moril terhadap aturan hukum bentukan pemerintah, dimana motif ataupun tujuan pembentukannya menjadi begitu diragukan oleh publik, maupun dari segi penegakannya tidak lagi berwibawa di mata rakyat, terlebih untuk dipatuhi bila tiada terdapat ancaman sanksi—dimana bilamana pun terdapat ancaman sanksi penjara, toh para narapidana saja gaibnya dibebas-bebaskan oleh pemerintah dari penjara. Mengapa pemerintah kita, memainkan lelucon pada saat yang tidak tepat seperti ini? Rupa-rupanya banyak diantara para pembuat kebijakan di republik ini yang diisi oleh para “komedian”, bukan hanya terjadi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat kita. Karenanya, ketika rakyat melihat kesempatan dimana otoritas negara sedang jatuh dengan begitu lemahnya akibat gempuran wabah virus mematikan yang langsung mengakibatkan pelemahan ekonomi makro maupun mikro negeri dan “macetnya” roda pemerintahan, dimana masing-masing penyelenggara negara saling sibuk menyelamatkan diri masing-masing, deal-deal politik yang kian cair menguap seperti asap tidak tentu arahnya, pijakan mapan penguasa negara yang kian lemah fondasinya, maka masuklah gerakan rakyat semesta secara komunal untuk tidak koperatif terhadap “himbauan” pemerintah, tidak lain agar kian mencoreng wajah pemerintah Republik Indonesia agar menjadi bahan tertawaan bagi dunia global tatkala China dan Vietnam mampu secara efektif memutus mata rantai penyebaran Virus Corona COVID-19. Dengan cara itulah, rakyat mengumandangkan dirinya telah menang melawan pemerintahnya yang selama ini tidak tersentuh, tidak terjangkau oleh tangan-tangan kecil rakyat kecil, dan bagai berdiri di atas “menara gading” yang kokoh namun angkuh. Yang juga kemudian terjadi antara pemerintah dan rakyatnya, ialah menjadi menyerupai “adegan” saling “mengunci” serta “memelintir tangan” satu sama lain, Timbullah fenomena saling mogok tidak taat dan tidak patuh, “DEADLOCK”. Masyarakat kita hanya kompak dalam satu hal, yakni kompak “membangkang” terhadap “himbauan” pemerintah—seolah pemerintah kita kekurangan para pakar hukum untuk merumuskan norma hukum. Itulah ketika, itikad buruk pemerintah berupa tidak transparannya pemerintah selama ini dalam mengelola negeri, dibalas secara komunal oleh rakyat dengan tidak kooperatifnya rakyat sebagai imbas asas “resiprositas” yang tidak berjalan sebagaimana mestinya akibat kekecewaan rakyat yang selama ini menjadi objek permainan politik penyelenggara negara serta pemberian suaranya pada pemilihan umum yang dibalas dengan “pengkhianatan” terhadap publik luas. Kemudian terjadilah saling lempar tanggung-jawab pemangku bijakan negara, seolah kegagalan pemerintah akibatkan tidak kooperatifnya sebagian rakyat—yang sebaliknya, rakyat menilai inilah kesempatan untuk melakukan “pembangkangan komunal” terhadap “himbauan” dimana memang tiada kewajiban bagi publik untuk patuh terhadap apa yang sekadar disebut sebagai “himbauan” yang bahkan tidak termasuk dalam kategorisasi norma hukum yang dicirikan oleh sifat imperatif-preskriptif “ought to” atau “keharusan” / “kewajiban” yang dapat digunakan daya paksa untuk penegakkannya maupun terdapatnya ancaman sanksi bagi pelaku pelanggarnya. Mulai dari sekadar himbauan memakai masker penutup hidung serta mulut, himbauan menjaga jarak fisik, himbauan untuk tidak keluar rumah, himbauan untuk bekerja dan belajar di rumah, himbauan beribadah di rumah, hingga himbauan untuk tidak mudik, kesemuanya dilanggar oleh sebagian besar rakyat kita secara terang-benderang di tengah “siang bolong”. Dimana semuakah para personel kepolisian kita yang selama ini begitu sigap melakukan aksi represif membungkam para demonstran mahasiswa di jalanan umum ketika menyerukan aksi kekecewaaan terhadap berbagai produk politik yang jelas-jelas tidak “pro” terhadap rakyat? Mengapa mendadak para aparatur penegak hukum yang “sadistik” tersebut, seolah hilang ditelan bumi atau “mendadak alim”? Para mafia pun kemudian mulai mengambil alih-alih sendi-sendi roda pergerakan negara, mulai dari keberadaan masker kesehatan maupun masker demi keperluan kalangan medis yang “ada namun tiada”, ada dijual di pasaran yang artinya ada beredar dan tersedia namun dengan harga yang sangat tinggi untuk dapat “ditebus” dibeli warga, sehingga artinya bukan tidak ada yang menjual, namun dikuasai mafia dimana otoritas negara di-“kangkangi” serta di-“pecundang”-kan oleh para mafia yang terang-terangan melakukan kartel harga, dimana bahkan kalangan medik harus membeli alat pelindung diri dari “black market” pasar gelap dengan alasan rasionalisasi berupa fakta empirik “kedodorannya” pemerintah dalam mengawasi dan mengatasi aksi-aksi mafia di republik ini yang menguasai jalur logistik peredaran perlengkapan alat pelindung diri—seolah negara tidak pernah benar-benar hadir di republik ini, bahkan bagi kalangan medik seperti dokter, suster, dan rumah sakit yang merupakan garda terdepan frontliner penanganan wabah pandemik, kesulitan mengakses alat pelindung diri, sehingga lengkap sudah kegagalan “satuan tugas penanganan wabah Virus Corona” pada republik yang umurnya semestinya tergolong sudah cukup matang ini. Percaya atau tidak, rakyat kini mempertawakan pemerintah kita sebagai pemerintahan yang “impoten”, “banci”, “melempem”, serta “tidak berguna”. Bagaimana mungkin mengharap menjadi “macam Asia”, bila menghadapi kenyataan betapa “kalah-tertinggal”-nya otoritas Indonesia dari pemerintahan Tiongkok, sudah menjadi wujud bukti nyata bahwa Indonesia adalah “macan ompong” yang tidak bergigi. Bahkan untuk berbalik sekadar memberi makan rakyatnya selama beberapa bulan masa pandemik, setelah sekian lama berpuluh-puluh tahun memeras rakyat dengan berbagai pungutan pajak maupun iuran, bermewah-mewah dan bermalas-malas dengan uang rakyat, kini tidak mampu untuk menghidupi rakyatnya sekadar untuk beberapa bulan lamanya? Lantas, jika demikian realitanya, untuk apa republik ini, mengapa tidak kita bubarkan saja, dan bukankah sudah saatnya kita meragukan keseriusan ataupun itikad pemerintahan kita? Pemerintah meminta rakyatnya untuk tidak bekerja keluar rumah, namun disaat bersamaan pemerintah tidak memberikan pasokan kebutuhan primer bagi rakyatnya yang patuh, sebagaimana kebijakan Pemerintah Tiongkok di Wuhan-China yang segera turun-tangan langsung ke setiap rumah penduduk tanpa berlama-lama berwacana perihal anggaran perhatikan, jumlah populasi penduduk China sangat masif, namun Pemerintah Tiongkok tidak pernah berpikir seribu kali untuk bergerak cepat mengejar waktu agar tidak “kecolongan” oleh wabah, maka sama artinya pemerintah kita hanya pandai bersikap “mau menang sendiri”. Seolah belum cukup banyak pelecehan dari pemerintah kita terhadap rakyatnya, aksi-aksi teatrikal “palsu” dipertontonkan oleh pemimpin republik ini yang seolah “canggung” bahkan dalam sekedar membuat sosialisasi terhadap publik pun mengandung muatan informasi yang “simpang-siur” serta “tumpang-tindih” antar juru bicara pemerintahan—seolah rakyat belum cukup “muak” terhadap seluruh itikad “yang patut diragukan” yang ditampilkan oleh sang pemangku kekuasaan yang hanya pandai “menina-bobokan” rakyatnya dengan informasi yang “ditutup-tutupi” dengan alasan agar tidak membuat “panik” rakyat atas “informasi utuh” yang sebetulnya adalah hak publik untuk mengetahui. Betapa tidak, perihal statistik yang di-rilis pemerintah, pasien yang meninggal dunia akibat terinfeksi Virus Corona, ternyata hanya memuat kandungan informasi perihal pasien yang telah berstatus “pasien dalam penanganan”, bukan “orang tanda gejala” maupun “orang dalam pemantauan” yang terlebih dahulu jatuh korban jiwa sebelum hasil laboratorium menyatakan dirinya positif terjangkit Virus Corona. Seandainya, sejak lama sebelum ini, pemerintah kita bersikap akuntabel dan transparan terhadap rakyatnya, mendewasakan rakyatnya lewat aksi pengayoman nyata yang bertujuan memajukan dan memakmurkan rakyat tanpa motif terselubung kepentingan pribadi segelintir elit penguasa, benar-benar mengabdi secara nyata dan transparan disamping akuntabel terhadap segenap rakyatnya tanpa terkecuali, maka dapat dipastikan saat kini ketika negara dalam keadaan genting dan darurat untuk meminta agar seluruh rakyatnya bahu-membahu bergotong-royong dengan cara kompak serta kooperatif mematuhi serta menaati berbagai “himbauan” yang dikumandangkan pemerintah, maka satu komando dari seorang Presiden selaku Kepala Negara sudah cukup untuk memberi inspirasi bagi segenap rakyat untuk maju berperang melawan “wabah” virus mematikan manapun—dan sang Kepala Negara pun dapat tampil berorasi dengan penuh percaya diri. Seandainya, namun itu hanya seandainya, kini nasi sudah menjadi bubur, dan pemimpin negara kita-lah yang paling patut bertanggung-jawab atas “hutang dosa” ini, atas kegagalan besarnya mengayomi rakyatnya sendiri. Sebaliknya, bila pemerintah kita masih berani tampil dengan penuh “percaya diri” di hadapan publik meminta agar segenap rakyat “kooperatif” terhadap “himbauan” pemerintah, maka itulah wujud betapa pemerintah kita “tidak kenal malu”. © Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Suatupemerintahan yang baik harus membuka pintu yang seluas-luasnya agar semua pihak yang terkait dalam pemerintahan tersebut dapat berperan serta atau berpartisipasi secara aktif, jalannya pemerintahan harus dijalankan secara transparan dan pelaksanaan pemerintahan pemerintahan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan [16].
Dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan Suatu pemerintahan dikatakan transparan jika dalam penyelenggaraan pemerintahan terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan. Berbagai informasi telah disediakan secara memadai dan mudah dimengerti sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Pemerintahan yang tidak transparan, cepat atau lambat cenderung akan menuju pada pemerintahan yang korup, otoriter, atau diktator. Dalam penyelenggaraan negara, pemerintah dituntut bersikap terbuka terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya termasuk anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, mulai perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap kebijakan tersebut pemerintah dituntut bersikap terbuka dalam rangka akuntabilitas publik. Banyak faktor penyebab penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan. Faktor sistem politik yang bersifat tertutup merupakan salah satu faktor utama. Sistem politik yang tertutup tidak memungkinkan partisipasi warga negara dalam mengambil peran terhadap kebijakan publik yang dibuat pemerintah. Faktor lainnya adalah sumber daya manusianya yang bersifat feodal, oportunis, dan penerapan aji mumpung. Secara umum faktor penyebab terjadinya pemerintahan yang tidak transparan dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, pengaruh kekuasaan. Dalam hal ini penguasa ingin mempertahankan kekuasaannya sehingga melakukan perbuatan menghalalkan segala cara demi ambisi dan tujuan politiknya. Penyalahgunaan kekuasaan ini mungkin terjadi karena lemahnya fungsi pengawasan internal dan oleh lembaga perwakilan rakyat, serta terbatasnya akses masyarakat dan media massa untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan. Pada umumnya, pemerintah mengabaikan proses demokratisasi sehingga rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya saluran komunikasi tersumbat, timbul gejolak politik yang bermuara pada gerakan reformasi yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Akibatnya, kemungkinan besar akan terjadi peralihan kekuasaan yang menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antarkelompok di masyarakat. Kedua, faktor moralitas. Faktor ini berupa terabaikannya nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagai sumber etika sehingga pada kemudian hari melahirkan perbuatan tercela antara lain berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, faktor sosial dan ekonomi. Faktor ini berupa sering terjadinya konflik sosial sebagai konsekuensi keberagaman suku, agama, ras, dan golongan yang tidak dikelola dengan baik dan adil. Selain itu, perilaku ekonomi yang sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta berpihak kepada sekelompok pengusaha besar, turut menjadi faktor penyebab utama. Keempat, politik dan hukum. Dalam hal ini, sistem politik yang otoriter menyebabkan para pemimpin tidak mampu lagi menyerap aspirasi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Hukum telah menjadi alat kekuasaan sehingga pelaksanaannya banyak bertentangan dengan prinsip keadilan, termasuk masalah hak warga negara di hadapan hukum. Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak transparan, secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat atau warga negara. Hal ini tercantum dalam konstitusi negara, yaitu pencapaian masyarakat adil dan makmur. Akibat yang secara langsung dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan adalah terjadinya korupsi politik, yaitu penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Pada masa Orde Baru korupsi politik hampir terjadi di semua tingkatan pemerinah, mulai dari pemerintahan desa sampai tingkat pusat. Negara kita saat itu termasuk salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi politik itu membawa akibat lanjutan yang luar biasa, yaitu krisis multidimensi di berbagai bidang kehidupan.
Dampakpenyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan. Suatu pemerintahan dikatakan transparan jika dalam penyelenggaraan pemerintahan terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan. Berbagai informasi telah disediakan secara memadai dan mudah dimengerti sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Pemerintahan yang tidak transparan tentu akan memunculkan dampak atau akibat yang tidak baik. Sebaliknya, pemerintahan yang transparan pasti akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Salah satu dampak negatif atau akibat penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan adalah korupsi, suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan yang sedang diemban tanpa adanya catatan administratif atau bukti tertulis lainnya. Selain itu, korupsi juga bisa dimaknai sebagai perilaku pejabat, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Perilaku korupsi di kalngan pejabat pemerintahan akan menyebabkan krisis multidimensi pada berbagai bidang kehidupan masyarakat, tak terkecuali di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan keamanan. Korupsi menyebabkan krisis kepercayaan rakyat kepada pemerintah, serta krisis moral di pemerintahan. Tanpa ada penanganan yang baik, perilaku korupsi justru akan menghancurkan pemerintahan. PENYEBAB PEMERINTAHAN TIDAK TRANSPARAN Terjadinya penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satu penyebab penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transaparan adalah sistem politik yang bersifat tertutup, sehingga tidak memungkinkan partisipasi warga negara dalam mengambil peran terhadap kebijakan publik yang dibuat pemerintah. Selain itu, pemerintahan yang tidak transparan juga bisa disebabkan karena sumber daya manusianya yang bersifat feodal, oportunistis, dan selalu menerapkan “aji mumpung” serta karakter “ingin dilayani” sebagai aparat pemerintah. ***** Dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan tentu sangat banyak dan bisa merambah pada sejumlah sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itulah, kita harus senantiasa mengupayakan terwujudnya pemerintahan yang transparan, terbuka akan kritik dan masukan warga negara serta mau memperbaiki kesalahn dan kekurangan yang ada. Artikel ini dikunjungi dengan topik . Baca juga artikel menarik lainnya . Adapundampak dari pemerintahan yang tidak transparan sebagai berikut. Tumbuh dan berkembangnya KKN ( Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ) ada hampir semua aspek kehidupan yang melingkupi semua tingkat. Pejabat atau Kepala daerah yang terpilih karena politik uang, setelah memerintah atau memegang kekuasaan akan selalu memikirkan dan menyusun
Reformasi merupakan salah satu bagian penting dari sejarah Indonesia. Foto KumparanReformasi merupakan salah satu bagian penting dari sejarah Indonesia. Maka dari itu, tidak ada salahnya bagi kita untuk memahami pengertian KBBI, pengertian reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama dalam suatu masyarakat atau artikel ini, kita akan membahas mengenai sejarah serta dampak reformasi di Indonesia. Berikut Pengertian ReformasiMenurut KBBI, pengertian reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama dalam suatu masyarakat atau negara. Foto dari buku Kebijakan Pendidikan karya Suryawahyuni Latief, reformasi berasal dari kata "re" dan "formasi, bermakna “kembali” dan “susunan”, sehingga reformasi dapat diartikan “susunan kembali”.Reformasi adalah suatu gerakan sosial dan politik yang bertujuan untuk melakukan perubahan sistem, kebijakan, atau institusi yang dianggap tidak adil, korup, atau otoriter. Reformasi seringkali dilakukan oleh rakyat untuk memperjuangkan kebebasan, keadilan, transparansi, dan demokrasi yang lebih baik. Di Indonesia, Reformasi merujuk pada perubahan signifikan dalam sistem politik dan pemerintahan yang terjadi pada akhir tahun Reformasi di IndonesiaReformasi di Indonesia dimulai sebagai hasil dari tekanan yang semakin meningkat terhadap rezim otoriter yang berkuasa pada saat itu, yaitu Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Rezim Soeharto ditandai dengan praktik korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, pembatasan kebebasan sipil, dan ketidakadilan politik yang telah berlangsung selama lebih dari tiga yang memicu Reformasi dimulai pada tahun 1997 dengan krisis keuangan Asia yang mengguncang ekonomi Indonesia. Krisis ini mengungkapkan kelemahan dalam sistem ekonomi dan korupsi yang meluas di negara tersebut. Protes dan demonstrasi massa yang mengkritik pemerintah Soeharto pun semakin meningkat. Puncaknya terjadi pada 12 Mei 1998, ketika mahasiswa dan masyarakat umum turun ke jalan dalam apa yang dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Empat mahasiswa tewas dalam aksi tersebut, dan kejadian ini memicu kemarahan dan aksi protes yang lebih besar suasana ketegangan sosial yang semakin meningkat, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Posisinya kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, yang menjadi presiden ke-3 Indonesia. Habibie mengambil langkah-langkah reformis untuk mengatasi tuntutan rakyat, termasuk melonggarkan pembatasan kebebasan pers, mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta mengumumkan pemilu yang bebas dan politik yang signifikan terjadi pada tahun 1999, ketika dilaksanakan pemilihan umum yang mencakup pemilihan presiden dan parlemen. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden ke-4 Indonesia, yang kemudian digantikan oleh Megawati Sukarnoputri pada tahun 2001 setelah Wahid diberhentikan melalui mekanisme politik terus berlangsung dengan adanya revisi konstitusi pada tahun 2002 yang mengubah sistem politik Indonesia menjadi lebih Reformasi bagi Negara IndonesiaDampak reformasi di Indonesia sangatlah luas dan beragam, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Foto KumparanDampak reformasi di Indonesia sangatlah luas dan beragam, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Berikut adalah beberapa dampak penting dari Reformasi di Indonesia1. Munculnya DemokratisasiReformasi telah membuka ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik dan demokrasi. Sistem politik Indonesia menjadi lebih terbuka dan inklusif dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil, kebebasan berpendapat, dan kebebasan media yang lebih besar. 2. Kebebasan Sipil dan HAMAdanya perubahan hukum dan pendirian lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM dan KPK telah meningkatkan kesadaran dan perlindungan terhadap HAM, serta memberantas korupsi dan pelanggaran hak asasi Perkembangan Media dan InformasiReformasi membawa perubahan besar dalam bidang media dan informasi. Kebebasan pers yang lebih besar memungkinkan media untuk beroperasi secara independen dan melaporkan berita secara lebih transparan. Kemajuan teknologi informasi juga memainkan peran penting dalam mempercepat akses publik terhadap Pembangunan EkonomiReformasi juga memiliki dampak signifikan dalam bidang ekonomi. Dengan pembukaan pasar dan liberalisasi ekonomi, Indonesia berhasil menarik investasi asing yang lebih besar, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja baru. 5. Kebangkitan Sosial dan BudayaReformasi juga telah memicu kebangkitan sosial dan budaya di Indonesia. Masyarakat menjadi lebih terbuka dalam menyuarakan aspirasi dan identitas budaya mereka. Kapan puncak reformasi di Indonesia?Kapan Soeharto lengser?Apa motif reformasi?
Ketigahal ini tidak hanya merugikan pemerintah saja, melainkan juga seluruh masyarakat dan negara. Setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan pemerintahan yang tidak transparan adalah: Pengaruh kekuasaan Kekuasaan yang dimiliki segelintir orang akan membuat mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hal atau kepentingan yang diinginkan.
Transparansi atau yang kita kenal dengan istilah keterbukaan merupakan istilah yang tidak lagi asing bagi kita satu criteria pemerintahan yang baik adalah adanya keadilan dan keterbukaan atau hal ini belum terwujud dalam Negara kita sendiri, akan tetapi tahukah anda bahwa banyak sekali dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan itu. Sebelum membahas dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan, tentunya kita harus mengerti apa itu pemerintahan terlebih umum, pemerintah berarti lembaga atau orang yang bertugas untuk mengatur dan memajukan Negara dengan rakyatnya. Sedangkan pemerintahan adalah hal atau cara, hasil kerja memerintah, mengatur Negara dengan Indonesia sendiri menggunakan sistem pemerintahan demokrasi yang seharusnya diselengarakan secara terbuka. Dewasa ini, sudah banyak Negara yang meninggalkan pola penyelenggaraan pemerintah tradisional yang lebih menekankan pada perspektif hubungan mengenai top down atau pendekatan aturan aturan juga telah menyadari pentingnya sektor swasta dan masyarakat untuk bersama sama mewujudkan tujuan nasional secara kolaboratif, sehingga terjadi perubahan paradigm dimana pola yang dikembangkan lebih arti luas, pemerintah diartikan sebagai adanya pemerintahan yang berdaulat sebagai gabungan semua badan atau lembaga kenegaraan yang berkuasa dan memerintah di wilayah suatu Negara yang meliputi badan eksekutif, legislative dan dalam arti sempit, pemerintahan adalah badan atau lembaga yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan kebijakan Negara yang terdiri dari presiden, wakil presiden, dan para mentri atau lebih jelas mengenai dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan, simaklah uraian yang akan disajikan berikut governanceGood governance atau pemerintahan yang baik secara umum mempunyai dua pengertian. Yang pertama adalah nilai nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan, kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan lainnya adalah aspek aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, pemerintahan yang baik berorientasi pada dua hal, yaitu – Orientasi ideal Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu mengacu pada demokrasi dengan elemen legitimasi, akuntabilitas, otonomi dan devolusi kekuasaan pada daerah dan adanya mekanisme control oleh masyarakat.– Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu pemerintahan yang efektif dan efisien dengan upaya untuk mencapai tujuan karena itu, bisa dikatakan bahwa wujud dari pemerintahan yang baik adalah penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab secara efisien dan efektif dengan mensinergiskan intreaksi yang konkuratif di antara domain Negara, sektor swasta dan pemerintahan yang tidak transparanSuatu pemerintahan dkatakan transparan atau terbuka apabila dalam penyelenggaraan kepemerintahannya terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan, sehingga mudah diakses oleh mereka yang tetapi, banyak sekali dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan. Secara umum, ada beberapa penyebab yang menyebabkan suatu pemerintahan menjadi tidak transparan, di antaranya adalah – Pengaruh kekuasaan– Moralitas– Social ekonomi– Politik dan hukumAdapun dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan yang muncul, di antaranya adalah – Rendahnya atau bahkan tidak adanya kepercayaan warga Negara kepada pemerintah– Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah– Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan kebijakan publik– Apabila warga Negara menjadi apatis, maka KKN akan meraja lela dan menjadi budaya yang mendarah daging– Akan terjadi krisis moral dan akhlak yang kemudian berdampak pada ketidak adilan, pelanggaran hukum dan hak asasi manusiaDalam undang undang nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN, dijelaskan bahwa asas umum yang digunakan adalah – Asas kepastian hukum– Asas tertib penyelenggaraan Negara– Asas kepentingan umum– Asas keterbukaan– Asas proporsionalitasInilah sekilas mengenai dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan. Semoga bermanfaat Lihat Video Dibawah Ini Siapa Tahu Bermanfaat Untuk Kamu dalamrangka mengurangi dan menghindari terjadinya aktivitas kerja yang tidak transparan dari oknum pemerintah yang menjalankan kegiatan secara tidak transparan. KAJIAN TEORI Sebelum menjelaskan mengenai konsep transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka terlebih dahulu dijelaskan dasar pijakan kajian transparansi itu Suatu pemerintahan dikatakan transparan jika dalam penyelenggaraan pemerintahan terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan. Berbagai informasi telah disediakan secara memadai dan mudah dimengerti sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Pemerintahan yang tidak transparan, cepat atau lambat cenderung akan menuju pada pemerintahan yang korup, otoriter, atau diktator. Dalam penyelenggaraan negara, pemerintah dituntut bersikap terbuka terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya termasuk anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, mulai perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap kebijakan tersebut pemerintah dituntut bersikap terbuka dalam rangka akuntabilitas publik. Banyak faktor penyebab penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan. Faktor sistem politik yang bersifat tertutup merupakan salah satu faktor utama. Sistem politik yang tertutup tidak memungkinkan partisipasi warga negara dalam mengambil peran terhadap kebijakan publik yang dibuat pemerintah. Faktor lainnya adalah sumber daya manusianya yang bersifat feodal, oportunis, dan penerapan aji mumpung. Secara umum faktor penyebab terjadinya pemerintahan yang tidak transparan dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, pengaruh kekuasaan. Dalam hal ini penguasa ingin mempertahankan kekuasaannya sehingga melakukan perbuatan menghalalkan segala cara demi ambisi dan tujuan politiknya. Penyalahgunaan kekuasaan ini mungkin terjadi karena lemahnya fungsi pengawasan internal dan oleh lembaga perwakilan rakyat, serta terbatasnya akses masyarakat dan media massa untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan. Pada umumnya, pemerintah mengabaikan proses demokratisasi sehingga rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya saluran komunikasi tersumbat, timbul gejolak politik yang bermuara pada gerakan reformasi yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Akibatnya, kemungkinan besar akan terjadi peralihan kekuasaan yang menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antarkelompok di masyarakat. Kedua, faktor moralitas. Faktor ini berupa terabaikannya nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagai sumber etika sehingga pada kemudian hari melahirkan perbuatan tercela antara lain berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, faktor sosial dan ekonomi. Faktor ini berupa sering terjadinya konflik sosial sebagai konsekuensi keberagaman suku, agama, ras, dan golongan yang tidak dikelola dengan baik dan adil. Selain itu, perilaku ekonomi yang sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta berpihak kepada sekelompok pengusaha besar, turut menjadi faktor penyebab utama. Keempat, politik dan hukum. Dalam hal ini, sistem politik yang otoriter menyebabkan para pemimpin tidak mampu lagi menyerap aspirasi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Hukum telah menjadi alat kekuasaan sehingga pelaksanaannya banyak bertentangan dengan prinsip keadilan, termasuk masalah hak warga negara di hadapan hukum. Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak transparan, secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat atau warga negara. Hal ini tercantum dalam konstitusi negara, yaitu pencapaian masyarakat adil dan makmur. Akibat yang secara langsung dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan adalah terjadinya korupsi politik, yaitu penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Pada masa Orde Baru korupsi politik hampir terjadi di semua tingkatan pemerinah, mulai dari pemerintahan desa sampai tingkat pusat. Negara kita saat itu termasuk salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi politik itu membawa akibat lanjutan yang luar biasa, yaitu krisis multidimensi di berbagai bidang kehidupan. Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak transparan secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat atau warga negara, sebagaimana tercantum dalam konstitusi negara, yaitu pencapaian masyarakat adil dan makmur. Secara khusus, penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan juga berdampak pada bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama, serta pertahanan keamanan. Dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan dapat dijabarkan sebagai berikut. a. Bidang Politik Di bidang politik, lembaga politik baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak dapat berfungsi optimal. Lembaga-lembaga tersebut akan sangat sedikit menghasilkan kebijakan yang berpihak untuk kepentingan umum. Bahkan, kebijakan itu sering dianggap sebagai proyek untuk memperkaya diri. Akibat akhirnya adalah lembaga- lembaga politik tersebut akan sering memutuskan kebijakan yang bertentangan dengan rasa keadilan. b. Bidang Ekonomi Akibat penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan di bidang ekonomi adalah maraknya penggunaan “uang pelicin” dalam kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, sebagian besar kegiatan ekonomi yang bersinggungan dengan birokrasi pemerintahan menggunakan “dana” untuk memperlancar segala urusan. Akibatnya, kegiatan ekonomi menjadi berbelit-belit dan mahal. Investor pun menjadi enggan berinvestasi. Alasan yang mereka kemukakan karena banyak perizinan yang terlalu mengada-ada. Akibat akhirnya adalah perekonomian tidak tumbuh secara maksimal. c. Bidang Sosial, Budaya, dan Agama Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan juga berpengaruh dalam kehidupan sosial, budaya, dan agama. Di bidang- bidang tersebut akan terjadi pendewaan materi dan sifat konsumtif. Hidup diarahkan semata-mata hanya untuk memperoleh kekayaan dan kenikmatan hidup tanpa mempedulikan moral dan etika agama. Budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme pun semakin marak. d. Bidang Pertahanan dan Keamanan Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan juga berakibat pada bidang pertahanan dan keamanan. Dalam hal ini, terjadi ketertinggalan profesionalitas aparat, yaitu adanya ketidaksesuaian antara kualitas dengan tuntutan zaman. Komponen- komponen pertahanan keamanan bahkan sering dijadikan sebagai alat bagi penguasa untuk memperkuat kedudukannya. Akibatnya, sering terjadi konflik antara aparat keamanan dengan warga masyarakat yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Akibat terlalu banyaknya konflik, aparat keamanan tidak mampu mencegah secara dini atau menangani gejolak sosial dan gangguan keamanan. Adapun indikator-indikator penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan dan akibatnya menurut karateristik pemerintahan yang baik berdasarkan data UNDP sebagai berikut. No Karakteristik Indikator penyelenggaraan Akibatnya 1. Partisipasi • Warga masyarakat dibatasi/tidakmemiliki haksuaradalam prosespengambilan keputusan. • Informasihanya sepihak top-down lebih bersifatinstruktif. • Lembaga perwakilan tidakdibangun berdasarkan kebebasanberpolitik partaitunggal. • Kebebasanberserikat danberpendapat serta perssangatdibatasi. Wargamasyarakatdanperscenderung pasif, tidak ada kritik, unjuk rasa, masyarakat tidakberdayaterkekang denganberbagaiaturandandoktrin. 2. Aturan hukum • Hukum danperaturan lainnyalebihberpihak padapenguasa. • Penegakanhukum law enforcement lebihbanyakberlaku bagimasyarakat bawahbaiksecara politikmaupun ekonomi. • Peraturantentang HAMterabaikandemi stabilitasdan pencapaiantujuan negara. Masyarakat lemah danhidup dalam ketakutansertatertekan. 4. Dayatanggap • Prosespelayanan sentralistikdankaku. • Banyakpejabat memposisikandiri sebagaipenguasa. • Pelayanan masyarakat masih diskriminatif, konvensional,dan bertele-tele tidak responsif. SegalapelayananpenuhdenganKKN. 5. B e r o r i e n t a s i konsensus • Pemerintahlebih banyakbertindak sebagaialat kekuasaannegara. • Lebihbanyakbersifat komandodan instruksi. • Segalaprosedur masihbersifat sekadarformalitas. • Tidakadapeluang untukmengadakan konsensusdan musyawarah. Pemerintahcenderungotoriterkarena konsensusdanmusyawarahtertutup. 6. Berkeadilan • Adanyadiskriminasi genderdalam penyelenggaraan pemerintahan. • Menutuppeluangbagi terbentuknya organisasinon- pemerintah/LSMyang menuntutkeadilan dalamberbagaisegi kehidupan. • Masihbanyakaturan yangberpihakpada gendertertentu. Arogansikekuasaansangatdominan dalammenentukanpenyelenggaraan pemerintahan. 7. Efektivitasdan efisiensi • Manajemen penyelenggaraan negara bersifat konvensionaldan terpusat. • Kegiatan penyelenggaraan negaralebihbanyak digunakan untuk acaraseremonial. Negaracenderung salahurus dalam mengolah SDAdan SDM sehingga banyakpengangguran tidakmemiliki dayasaing. 3. Transparan • Informasiyang didapatsatuarah hanyadaripemerintah danterbatas. • Sulitbagimasyarakat untukmemonitor/ mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahtertutupdengansegala keburukannya sehinggamasyarakat tidaktahuperistiwayangterjadidan kebijakanyangdiambil. 8. Akuntabilitas • Pengambil keputusan dominasipemerintah. • Swastadan masyarakatmemiliki peransangatkecil terhadappemerintah. • Pemerintah memonopoliberbagai alatproduksi strategis. • Masyarakatdanpers tidakdiberipeluang untukmenilaijalannya pemerintahan. Pemerintahdominandalamsemualini kehidupansehinggawarga masyarakatnyatidakberdayauntuk mengontrolapayangtelahdilakukan pemerintahnya. 9. Bervisi strategis • Pemerintahlebih dengankemapanan yangtelahdicapai. • Sulitmenerima perubahanyang berkaitandengan masalahpolitik, hukum,danekonomi. • Kurangmau memahamiaspek- aspekkultural, historis,dan kompleksitassosial masyarakat • Penyelenggaraan pemerintahanstatis dantidakmemiliki jangkauanjangka panjang. Banyakpenguasayangpro status quo dankemapanansehinggatidak peduliterhadapperubahaninternal maupuninternalnegaranya. 10. Saling ketergantungan • Banyakpenguasa yangarogandan mengabaikanperan swastadan masyarakat. • Pemerintahmerasa palingbenardan pintardalam menentukanjalannya pemerintahan. • Masukanatau kritik dianggapprovokator danantikemapanan sertastabilitas. • Swastadanmasya- rakattidakdiberi kesempatanuntuk bersinergidalam membangunnegara. Parapejabatdianggaplebihtahu dalamsegalahalsehingga masyarakattidakpunyakeinginan untukbersinergidalammembangun negaranya. • PemanfaatanSDA danSDMtidak berdasarkanprinsip kebutuhan. Dampak yang paling besar dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan adalah berkembangnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi, artinya suatu penyelewengan dan penggelapan terhadap uang negara atau perusahaan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau orang lain. Kolusi, artinya suatu kerja sama secara rahasia untuk maksud yang tidak terpuji atau persekongkolan antara pengusaha dengan pejabat. Nepotisme, artinya suatu kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri terutama dalam hal jabatan atau pangkat. Dengan kata lain, suatu tindakan untuk memilih kerabat atau sanak saudara sendiri atau teman-teman terdekatnya untuk memegang atau menguasai suatu instansi atau jabatan. Korupsi tumbuh subur terutama pada negara-negara yang menerapkan sistem politik yang cenderung tertutup, seperti absolut, diktator, totaliter, dan otoriter. Hal ini karena semakin lama seseorang berkuasa, penyimpangan yang dilakukannya akan semakin menjadi-jadi. Pada pemerintahan yang tertutup, segala perencanaan dan kebijakan pemerintah lebih banyak untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan daripada untuk kesejahteraan rakyatnya. Tindak korupsi akan mendatangkan kerugian pada pihak lain. Beberapa akibat yang ditimbulkan dari tindak korupsi yang pada umumnya tampak di permukaan sebagai berikut. 1 Meniadakan sistem promosi karena lebih dominan hubungan patron- klien dan nepotisme. 2 Proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan. 3 Jatuh atau rusaknya tatanan ekonomi karena produk yang dijual tidak kompetitif dan terjadi penumpukan beban utang luar negeri. 4 Semua urusan dapat diatur sehingga tatanan aturan/hukum dapat dibeli dengan sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan. 5 Lahirnya kelompok-kelompok pertemanan yang lebih didasarkan kepada kepentingan pragmatisme uang. Andatelahmengetahuibahwasalahsatudampakpenyelenggaraanpemerintahan yangtidaktransparanadalahterjadinyakorupsi,kolusi,dannepotisme KKN.Seperti yangsudahAndapelajaribahwajikawarganegaraapatis,ditunjangdenganrezimyang berkuasasangatkuatdanlemahnyafungsilegislatif,KKN akanmerajalela. Berdasarkan halini,carilahinformasitent perluAndakumpulkansebagaiberikut. 1. Faktor-faktorpenyebabkorupsi,kolusi,dannepotisme. 2. Contoh-contohtindakanyangmencerminkan korupsi,kolusi,dannepotisme. 3. Carapencegahanberkembangnyabudaya korupsi,kolusi,dannepotisme. D. Sikap Keterbukaan dan Keadilan dalam Kehidupan . 147 427 54 274 207 389 160 197

dampak pemerintahan yang tidak transparan